Rabu, 06 April 2011

Ucapan

Mulut !
terkadang memang berkata baik, namun tak jarang juga berkata jahat. bahkan mungkin kurang ajar yaa...
dari perkataan yang timbul dari mulut-mulut-mulut selalu saja membuat makna yang ambigu ? kata salah seorang prof. Dr bla bla bla MSC. jaga kalibrasi jika bicara? hmm... tak mengerti apa itu kalibrasi ? silakan anda cari di Om google. pasti jawabannya tak sesuai atau tak nyambung dengan makna yng ditangkap apabila kita sedang bicara, yang diharuskan menjaga kalibrasi...

hari ini ... dikampus, saya mungkin salah bicara sama teman saya. maksud saya cuma ingin bercanda, tapi rupanya si anu tersinggung. *mungkin*
oh... bukan maksud saya sebenarnya.. bukan maksud apa-apa, balas dendam juga bukan. saya bilang murni ingin bercandaaa..
tapi sekali lagi juaga, mungkin si anu marah. fakta yang menjadikan si anu marah adalah : si anu tiba-tiba cuek. ketika pulang saya ucap "duluan yaaa". tapi cuma temannya si anu yang jawab. teman si anu juga teman saya... *berharap mungkin saya dia marah, dan belum marah beneran !

mulut-mulut-mulut... harus dijaga betul-betul ! hiks

Jumat, 01 April 2011

Sebab Anoreksia dia Pergi !

Aku masih belum lupa peristiwa yang terjadi waktu itu. Tak pernah ku bayangkan semua itu benar-benar akan terjadi. Semuanya terjadi begitu cepat. Tak tahu kapan berawal dan tak akan pernah tahu kapan berakhir. Waktu berjalan cepat dan tak akan pernah bisa dihentikan. Kami tak pernah menyadarinya. Kenapa harus dia? Ada milyaran orang di muka bumi ini, tapi mengapa harus dia? Aku menatap cermin yang berada didepan ku seolah memberikan kesan “Kenapa kamu ada disini jika akan pergi?”
Air sungai tak selalu mengalir perlahan. Kadang, tersapu angin dan mendadak berubah deras. Semua kenangan indah nan pahit itu masih jelas teringat di benakku. Bagaikan pemutaran film, semua tergambar jelas dalam pikiranku lagi walau aku sama sekali tidak menginginkannya. Tentang sahabat baikku … Wina.

Semua berawal ketika aku memasuki salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Aku mempunyai teman yang sangat baik. Seorang gadis anak pengusaha kaya yang tak pernah malu berteman dengan ku yang hanya seorang gadis desa yang mencoba mencicipi pendidikan di Jakarta dengan beasiswa yang ku dapat. Dia lebih pendek dariku dan kulitnya putih. Matanya cokelat dan berbadan gemuk, namun memiliki suara yang sangat merdu. Terlihat jauh lebih manis jika dia sedang tersenyum dengan lesung pipit di wajahnya, dia bernama Erwina Aryanti.
Wina, begitulah sebutan untuk memanggilnya. Dialah teman terbaik ku sejak pertama kali aku kuliah. Setidaknya aku menganggap begitu. Selain suara yang merdu, dia juga pandai memainkan piano. Tak heran jika banyak perlombaan sering dimenangkannya. Hal ini berkebalikan dengan ku yang memiliki suara cempreng, namun begitu aku tak pernah malu untuk ikut bernyanyi atau sekedar mencet-mencet piano jika diajak Wina saat dia latihan.

Hari sabtu, seperti biasa Wina datang ke kost untuk heart to heart (dibaca: curhat) denganku. Pasti memceritakan tentang do-re-mi bla bla bla yang tak begitu aku mengerti, karena memang aku tak pandai dalam musik. Meskipun begitu, aku tak pernah bosan untuk menjadi pendengar setianya.
“Assalamualaikum, Nadia…”
Aku segera membuka pintu untuk menemuinya.
“Walaikumsalam,” sahutku.
Aku terkejut saat membuka pintu, ada keanehan yang terlihat saat memandang sahabatku itu. Tak seperti biasanya. Wajah yang terlihat pucat dengan butiran kristal di pipinya. Belum sempat aku bertanya apa yang terjadi, dia langsung memelukku. Tangisnya pecah yang membuat aku semakin binggung.
Selama ini, Wina tak pernah mempermasalahkan dan merasa malu dengan berat badan yang tak ideal untuk tinggi badannya. Tapi sekarang kenapa hal itu menjadi masalah? Sebenarnya, aku merasa kasihan dengan sahabatku itu. Bagaimana tidak, dia sering menjadi bahan olokan teman seangkatan bahkan sekampus dengan berat badannya itu. “Si buntel!” begitulah yang sering mereka ucapkan buat Wina. Tapi Wina, tak pernah menghiraukan dan selalu tersenyum kepada siapa saja yang memanggilnya begitu. Hal itu membuat aku bangga kepadanya. Karena dia secara tidak langsung mengajariku untuk tetap percaya diri dan menerima segala kekurangan yang ada pada diri kita. Akan tetapi, sekarang muncul pertanyaan kenapa dia menangis? Apa benar penyebabnya karena dia tak tahan lagi mendengar olok-olokan itu? Sehingga dia sedih. Merasa malukah dia sekarang? Atau ... ? Entahlah, aku tak tau pasti apa penyebabnya. Karena pertanyaan itu hanya bisa menjadi tanda tanya besar di otakku melihat Wina yang sekarang terus menangis dan hanya berkata “Aku ingin memiliki tubuh kurus seperti mu?”

Satu bulan kemudian, setelah peristiwa heart to heart yang masih menjadi tanda tanya besar di otakku. Kenapa Wina menangis dan berkata ingin sepertiku, memiliki tubuh kurus? Wina berubah 180 derajat baik secara fisik atau perilaku. Sekarang tidak ada lagi sebutan buntel yang dulu pernah ada. Dan tak ada lagi Wina yang periang dan sikap cuek terhadap para penyebut buntel. Yang ada hanya Wina yang bertubuh kurus bahkan terlalu kurus malah dengan wajah yang pucat dan bibir kering. Dan Wina yang sekarang mendadak menjadi pendiam dan tertutup. Melihat keadaan Wina yang seperti itu, menambah rasa penasaranku. Dalam hati aku berkata AKU HARUS BICARA DENGAN WINA !
“Wina, tunggu..?” panggilku saat melihat Wina pergi meninggalkan ruangan. Wina menoleh sebentar untuk melihatku. Sejurus kemudian dia menghilang meninggalkan aku yang masih berdiri dengan rasa penasaraan yang makin menjadi-jadi. “Wina kenapa ya?” pikirku.
Tak berapa lama kemudian handphone ku bergetar. Buru-buru ku buka kotak masuk yang tertera dilayar phonsel. aku kekost jam 4 sore, tunggu yaa...aku tersenyum membaca pesan singkat dari Wina. “Ternyata kamu masih menganggap aku teman”
Tepat pukul 4 sore. Terdengar ketukan pintu dan ucapan salam dari seseorang. “Wina?” Akupun bergegas untuk membukakan pintu.
“Wina… ayo masuk,” ajakku. Wina pun menuruti apa yang ku perintahkan.
Kurang lebih satu jam, Wina belum berkata apa-apa. Semenjak kedatangannya tadi. Akupun ikut diam berharap Wina segera bicara kepadaku.
“Nadia,” panggil Wina
“Eh, iya, apa?” jawabku.
Wina tersenyum.
“Kamu punya impian tidak?” tanyanya dengan nada yang lembut.
Aku berpaling dan menatap dalam-dalam kearahnya. Itu sorot mata yang menunjukkan dia sungguh-sungguh atas pertanyaannya. Aku terdiam, lalu menjawab, “Eee… punya. Aku mau menjadi pramugari, dokter, presiden, atau … entahlah,”
“Aku… selalu bermimpi menjadi penyanyi terkenal. Pemain piano yang hebat. Aku ingin menghibur semua orang dengan nada-nada indah yang ku mainkan. Kemudian pada suatu hari, aku ingin tampil di panggung internasional! Aku juga ingin mengharumkan nama negara ini. AKU INGIN ITU!”
Dia berbicara dengan penuh semangat. Matanya berbinar-binar bagaikan sinar matahari yang terpantul pada tetesan embun pagi hari. Dia menatap langit, menatap impiannya yang akan dia capai suatu hari.
“Suatu saat, Nad, kamu akan melihatku tampil dengan panggung yang spektakuler, dipenuhi dengan jutaan pengermarku. Tentunya dengan badanku yang kurus pada hari itu”. Suaranya melemah saat mengucapkan kaliamt terakhir. Namun, aku masih mendengar apa yang ia ucapkan. Badanku yang kurus? Apa maksudnya? Kemudian akupun bertanya “Kamu diet?” Dia menoleh, menatapku lama dan kemudian menganggukan kepala.
“Kamu lihat sekarang Nad, apa aku berhasil menurunkan berat badanku?” tanya Wina sambil menunjukkan tubuhnya yang tak buntel lagi.
“Yaa… berhasil. Dan saking berhasilnya, kamu terlihat seperti tengkorak!” ketusku berharap Wina tersinggung agar berhenti untuk diet. Tapi nyatanya tidak, Wina tersenyum dan berkata “Ini belum seberapa, aku masih merasa buntel?” jawabnya polos, sambil mengelengkan kepala akupun cuma bisa berhah yang menandakan aku benar-benar tak mengerti apa yang salah dengan pikiran temanku itu. Sehingga berat badan 35 kg dengan tinggi 165 cm masih dianggap buntel ! Oh my god Najemii…
Malam harinya, saat hampir terlelap, aku teringat sesuatu hal yang membuat aku sadar akan perkataan Wina yang ingin memiliki tubuh kurus. Terlintas dipikiranku, apa mungkin Wina menjadi seorang Anoreksia? Dengan perasaan binggung aku berharap bahwa pikiranku itu akan salah.

Minggu yang cerah, aku sedang menikmati liburan akhir pekan setelah seminggu disibukkan dengan rutinitas kampus. Tanpa sengaja aku melihat bulatan merah melingkari tanggal 27 Maret. Wina B’day. “Oh my god najemii… hampir saja aku lupa dengan ultah Wina”. Akupun bersiap untuk pergi ke toko pelangi yang menjual berbagai pernak-pernik kebutuhan remaja yang berada tak jauh dengan kost tempatku tinggal.
Setelah membelikan kotak musik yang berwarna pink, akupun langsung pergi ke rumah Wina, tak sabar untuk memberikan hadiah ini untuknya. Meski ulang tahunnya esok hari.
Tok tok tok… “ Assalamualaikum” ucapku
Terdengar langkah mendekati pintu.
“Walaikumsalam” jawab pembantu rumah Wina.
“Winanya ada mba?” tanyaku kepada pembantu rumah Wina yang sering dipanggil mba Ira. Dengan tergagap-gagap mba Ira berkata “Eee… anu Non. Eee.. Non Winanya sekarang berada di rumah sakit,”
“Apa? Rumah sakit?”
“Iya Non, tadi pagi tiba-tiba saja Non Wina pingsan. Ibu dan bapak langsung membawa Non Wina kerumah sakit takut kalo terjadi sesuatu dengan Non Wina?” mendengar perkataan mba Ira, akupun langsung pamit dan bergegas pergi menuju rumah sakit.
Aku gemetar, kakiku pun lemas. Rasa khawatir yang begitu kuat dan dalam menyerangku. Setiap melangkah, aku merasakan kekhawatiran yang terus bertambah. Air mataku jatuh perlahan.
Ketika sampai dirumah sakit, aku mendapati orang tua Wina dengan raut wajah yang diliputi dengan kecemasan. Menunggu hasil pemeriksaan dari dokter.
“Tante...” panggilku. Tante Linda menoleh dan kemudian memelukku. Tangisnya pecah seketika.
“Tante yang sabar yaa...” aku mencoba menenangkan tante Linda. Padahal aku sendiri merasa sangat khawatir. Memikirkan seandainya jika benar-benar Wina meninggal, dia tak akan bisa meraih impiannya. Impian menjadi seorang penyanyi sekaligus pemain piano terhebat. Dia belum boleh meninggal! Masih ada impian yang harus dia kejar. Jika dia tak bisa meraih impiannya itu, aku sebagai sahabat pasti merasa sakit, sesakit-sakitnya. Itu yang dari tadi ada di pikiranku. Namun, aku teringat kembali perkataan orang tuaku. Kita tidak bisa melawan takdir. Apa pun yang ada di dunia ini, bahkan nyawa kita, adalah milik Allah semata. Kita tidak bisa mengatakan tidak ingin Wina meninggal sekarang karena Allah-lah yang memutuskan. Aku kemudian berdoa, memohon keselamatan Wina.
Setelah berdoa, aku berdzikir. Pemeriksaan berlanjut, lalu dokter keluar dari ruangan. Kami semua menunggu dokter berbicara, “Wina mengalami depresi yang berat. Dia dinyatakan sebagai pasien penderita Anoreksia nervosa, dan mungkin umurnya tak lama lagi,” begitulah pemberitahuan dari dokter kemudian.
Anorexsia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan kelaparan secara sukarela dan stress dari melakukan kegiatan. Atau Anorexia nervosa dapat diartikan sebagai gangguan makan karena adanya keinginan yang keras untuk mendapatkan tubuh yang kurus dan ditandai oleh penurunan berat badan yang yang ekstrim dengan cara sengaja melaparkan diri.
Mendengar kata Anorexsia nervosa kepalaku seakan dihujani dengan beribu-ribu paku tajam yang siap menancap di kepalaku. Bibir ini gemetar, tak sanggup rasanya mengucapkan langsung kata Anorexsia nervosa. Kemudian perlahan kakiku mulai melangkah, memasuki sebuah ruangan yang berwarna putih. Terlihat seseorang dengan tubuhnya yang sangat kurus terbaring di tempat tidur. Lemas, tak berdaya dengan mata yang masih terpejam. Rupanya Wina masih belum sadarkan diri. Mukanya memerah dan bibir yang membiru. Aku berdiri disampingnya.
Tiba-tiba, Wina menggenggam tanganku. Aku kaget, dia rupanya sudah sedikit sadar. Walau sepertinya sangat sulit untuk berbicara. Tapi dia berusaha mati-matian untuk menyampaikan sesuatu kepadaku. Genggaman tangannya tak seperti biasa. Lemas dan tak bertenaga.
“Nad, Nadia ….” suaranya terdengar sangat lemah.
“Wina, kamu pasti kuat! Kamu pasti akan sembuh. Kamu pasti bisa, asalkan kamu janji padaku untuk menghentikan program diet itu. Kamu mau ya?” ujarku menahan pahit.
Dia tersenyum lemah menatapku.
“Nadia... aku hanya ingin memiliki tubuh kurus sepertimu. Sehingga semua orang tak lagi mempermasalahkan penampilanku, terlebih olok-olokan itu ....”
Suaranya semakin lama, semakin lemah. Aku menggenggam tangannya erat-erat dan menatapnya dengan tatapan yang serius.
“Wina, apa kamu tahu, sebenarnya selama ini kamu telah mengajariku akan arti apa adanya. Melalui sikap cuek dan senyum yang kau tunjukkan kepada semua orang selama ini. Kamu terlihat sangat percaya diri. Aku bangga padamu Win. Sangat bangga. Tapi sekarang semua berbeda, kamu telah berubah. Kamu patahkan rasa banggaku dengan ego mu itu. Dengan keinginanmu yang menurut aku sudah kelewat batas. Harusnya kamu sadar!” amarahku keluar dengan tangisan yang semakin keras.
“Maafkan aku Nad, aku memang sahabat yang payah buatmu. Aku harap kita akan selalu menjadi ….”
Itu kata-kata terakhir yang Wina ucapkan. Tanpa tahu kelanjutan kata yang ingin di ucapkannya apa?
“Tidak, Win! Kamu tak akan meninggal. Wina! Wina! Banguun ….Wina!” Aku merasakannya, tubuhnya terasa dingin dan jantungnya tak berdetak lagi.
“TIDAAAK! Wina, bangun! Bangun! Jangan tinggalkan aku Win. WINAAA!”
Aku berteriak-teriak sambil menangis sekeras-kerasnya. Air mataku tumpah ruah membanjiri lantai. Aku menguncang-guncang tubuh Wina, berharap Wina akan bangun. Kutatap wajahnya yang pucat dan menggenggam erat tangannya.
Aku menjerit.
“WAAA!”




Aku terus menangis sejak dari rumah sakit sampai mengantarkan jasad Wina ke kubur. Tak pernah sedetik pun, aku tidak memikirkannya. Aku tak bisa mempercayai semua ini. Wina yang menjadi sahabat baikku, pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Saat Wina diantar ke kuburnya, itulah terakhir kali aku melihatnya. Aku benar-benar tak kuat menahan semuai ini. Ketika semua orang telah pergi, aku masih tinggal di samping kuburanya. Aku masih belum bisa beranjak satu langkah pun. Aku berlutut, memegang nisan yang bertulis nama Wina disana. Sambil meletakkan kotak musik sebagai hadiah ulang-tahunnya, akupun mengatakan selamat ulang tahun kepadanya.
“Selamat ulang tahun Wina… semoga kamu tenang di alam sana”.

Pena : Youly An Raidris