Kejadian itu menjadi seuntai mutiara yang sangat berharga bagiku. Sebuah pelajaran penting yang mungkin seorang mahasiswa berprestasi pun tidak akan mengerti. Semua itu tidak ada didalam buku manapun, bahkan buku langka sekalipun. Sesuatu yang sangat berharga dan tidak semua orang dapat menyadarinya.
Aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Aku sangat ingat bagaimana seorang mahasiswa calon ketua himpunan tega membentak-bentak mahasiswi didepan umum. Padahal mereka berteman dan satu angkatan di fakultas teknologi. Bentakan yang berasal dari permasalahan yang jika anak kecil sekalipun tau tentang permasalahan itu, pasti akan menertawakannya. Ah. Sangat sepelekah permasalahan itu, tapi mengapa aku berfikir keras untuk menjawab sebuah pertanyaan yang datang dari amarah?
Hanya ada dua pilihan. Sekarang kamu pilih, kita teman atau musuh !
Waktu itu, kamis 19 mei 2011 adalah jadwal praktikum mikrobiologi industry di laboratorium analisis fakultas teknologi. Aku bersama teman yang lain duduk dikursi dekat lab. Tapi tiba-tiba saja Fauzan datang merusak suasana kami.
“Aku mau tanya dengan kalian semua yang ada disini. Siapa yang nyoret presensiku,” tanya Fauzan dengan nada suara yang tak bisa dianggap sopan. Setidaknya kepada perempuan. Lalu akupun memberanikan diri untuk mengakuinya dengan cara mengangkat tangan.
“Kenapa dicoret!” tanya Fauzan dengan marah.
“Karena Kamu enggak masuk kuliah Zan,” jawabku dengan suara yang sedikit gemetar.
“Tapi Kamu enggak berhak melakukan itu. Yang berhak mencoret presensi itu adalah dosen. Dan Kamu komti bukan dosen!” bentak Fauzan sambil mengacungkan jari telunjuk tepat di depan mukaku.
Aku semakin gugup. Berusaha mengendalikan diri agar tetap terlihat biasa-biasa saja. Meski sebenarnya aku ingin menangis.
“Aku berhak Zan. Karena aku telah mendapat amanah untuk mencoret presensi mahasiswa yang tidak masuk kuliah. Jika Kamu enggak percaya, silakan tanya langsung kepada pak Toro,” aku mencoba membela diri. Meski sebenarnya aku benar-benar takut.
“Zan… Kamu enggak seharusnya marah kayak gini kepada Maya. Dia hanya menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Lagian kamu tadi dengar sendirikan, dia mencoret presensi mahasiswa yang enggak masuk kuliah. Jadi bukan hanya kamu dong yang dicoret, tapi teman-teman yang lain juga dicoret jika mereka enggak masuk,” sahut Wulan yang mencoba memberi pengertian kepada Fauzan.
“Iya Zan, presensiku juga dicoret. Harusnya kita sadar mengapa Maya melakukan itu. Mungkin ini teguran kepada kita, dan kita harusnya berterimakasih. Karena dengan tindakannya yang tegas sebagai komti, kita mahasiswa yang sering bolos jadi lebih rajin masuk kuliah. Jangan hanya titip tanda, itu mah sama saja kita seperti hantu yang tampak. Tanda tangan presensi hadir, kitanya enggak ada,” Shinta menambahkan.
Ada perasaan sedikit tenang di hatiku mendengar perkataan Wulan dan Shinta. Akupun berharap Fauzan dapat mengerti, dapat bersikap dewasa atas permasalahan yang benar-benar tak seharusnya diributkan.
Andai saja aku tau, betapa berat menjaga dan bertanggung jawab atas amanah yang dititipkan kepada kita. Sungguh akupun tak pernah mau untuk menerimanya...
Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Dalam hatiku, timbul firasat buruk kepada temanku sendiri Fauzan. Sepertinya, dia tetap tidak terima dan tak mau ambil resiko atas perbuatannya sendiri. Meski sebenarnya dia tau betul tentang resiko tidak masuk kuliah. Yaitu tak dapat mengikuti ujian akhir semester apabila nilai kehadiran lebih dari 20%. Maka dari itulah, dia dan mahasiswa lain lebih mengambil langkah aman dengan cara meminta teman yang lain mentanda tangani presensi, semirip tanda tangan yang aslinya. Hufh. Bukankah itu curang? Tapi mengapa hal yang demikin dikatakan mulia. Ah. Masih teringat jelas di otakku saat Anto bilang, kita adalah satu keluarga yang harusnya saling tolong menolong. Begitupun juga dengan perkataan Rio yang membuat aku kemudian berfikir, ada apa dengan kalian? Mengapa kalian mempertahankan hal yang tak pernah mendidik kita menjadi orang benar? Dulu memang tak pernah ada system coret-coret presensi. Sehingga dengan seenaknya saja kalian titip presensi, kemudia saat ujian kalianpun ikut ujian. Apa kalian tak pernah berfikir bahwa perbuatan kalian salah? Atau setidaknya kasian, kepada mahasiswa lain yang pagi hari sudah bersiap untuk pergi ke kampus.
Aku sangat cemas, sampai-sampai tidak bisa tidur. Aku bangkit dari tempat tidur. Ku hadapkan badan ke arah kiblat. Ku angkat tangan dan kemudian berdoa memohon semua akan baik-baik saja.
Keesokan harinya adalah hari yang membuat aku gusar. Aku tidak bisa tenang sejak pagi tadi. Setelah selesai kuliah rekayasa proses aku berlari menuju ruang dosen. Mengadukan semua yang terjadi kemarin.
Tok tok tok… ku ketuk pintu yang bercat hijau dengan papan nama Dr.Toro Sulaeman, STP. “Assalamualaikum …,”
“Walaikumsalam. Silakan masuk,” jawab seseorang di dalam ruangan.
Beberapa detik kemudian, aku telah berada diruang sempit yang berukuran 20x25 m2, namun aku larut dengan fikiranku. Tentang bagaimana caranya aku menyampaikan apa yang telah terjadi kemaren. Sampai-samapi aku tak mendengar kalau bapak Toro telah menanyaiku.
“Maya, ada apa?” tanya bapak Toro yang mungkin sudah beberapa kali menanyaiku, namun aku sendiri tak mendengarnya lantaran terlalu sibuk dengan fikiranku sendiri.
“Eh, iya pak. Saya hanya mau menyampaikan tentang persoalan presensi mahasiswa,” jawabku datar.
Kurang lebih satu jam, aku berada di ruangan dosen penanggung jawab matakuliah kimia itu kemudian akupun keluar. Aku merasakan semilir angin yang bertiup, menggoyangkan ujung jilbab yang ku kenakan. Langkah demi langkah ku rasakan ada perasaan yang lega. Rasanya semua beban yang begitu berat, kini telah hilang seiring dengan selesainya cerita yang ku sampaikan dari A sampai Z kepada pak Toro.
Seperti paku yang tertancap kuat di dinding-dinding, seperti itu juga perkataan pak Toro begitu terekam kuat di memori otakku. “Ini memang hal kecil yang harusnya tidak perlu diributkan. Bapak menitip amanah baru skala kecil, tapi dari amanah kecil ini kamu dapat bertanggung jawab untuk hal yang lebih besar dikemudian hari.” Ah. Bapak begitu bijak perkataan yang engkau lontarkan kepadaku, tanpa sedikitpun kau menghakimi aku sebagai mahasiswamu. Bapak terimakasih atas penjelasan singkat namun sangat berpengaruh kepadaku. Kini aku merasa jauh lebih percaya diri dan yang lebih penting, aku takkan pernah takut untuk menerima amanah yang diberikan kepadaku.
Fauzan… jika kemaren kamu pernah bertanya kepadaku, apakah aku ingin menjadi teman atau musuhmu? Kini pertanyaan itu akanku jawab. Aku ingin berteman dengan dirimu. Tapi aku ingin menjadi musuh bagi sikapmu !
Pena : Anna Yulia
- Tulisannya sudah mulai mengalir.
BalasHapus- Prolog mampu menarik rasa penasaran pembaca. Emosi pembaca jg ikut terlibat dlm alur cerita.
- Prolog & ending cukup bagus.
- Utk judul menggunakan bahasa Indonesia, kayaknya lbh menarik.
- Kaidah penulisan bahasa Indonesia yg baik & benar jg hrs dperhatikan, contohnya: terimakasih kata itu ada 2 suku kata yg harus dipisah. Kata tau bisa dipakai dlm bahasa dialog, tidak dlm bahasa narasi.
- Tanda titik juga harus diperhatikan.
Trus menulis...
terimakasih banya kak, atas masukannya.
BalasHapuspasti akan lebih giat lagi menulisnya.
saya suka penutupnya itu: berteman dengan dirinya, namun musuh bagi sikapnya.
BalasHapuscerdas, tapi berat dilaksanakan :)
sebelumnya, anna ucapkan terimakasih karena mau membaca tulisan saya..
BalasHapusiya kak... sangat sulit untuk dilaksanakan.. tapi jika kita tegas, insya alloh bisaa